AKU DAN PERATURAN : THE END



Konon manusia mempunyai 2 sisi, seperti mata uang, sisi baik dan jahat.
Jujur saja, sisi jahatku rasanya lebih banyak, sangat banyak malah dibanding sisi baiknya.
Ibuku bilang semua sifat dan sikap jelek merupakan milikku.
Sisi baikku?
Ibuku bilang aku tidak pelit, tapi tidak suka diminta atau dipinjami.
Tapi kalau menurutku sih sisi baikku palingan aku jujur, tak suka melanggar aturan, disiplin, penuh kasih sayang, dan perhatian layaknya emak2.
Sebetulnya sisi baikku itu juga masih bisa diperdebatkan.
Kalau jujur, okelah.
Bisakah aku dibilang jujur bila sebenarnya beberapa kali kubohongi mantan pacar dan suamiku dulu.
Rasanya bahkan ada mantan yang tidak tahu rumahku, mereka tahunya aku tinggal di Kramat Jati rumah budeku, atau di Gudang air, Cijantung rumah buleku.
Biasanya dengan wajah sedih aku selalu bilang bahwa aku ‘ngenger’ atau numpang dengan keluarga karena orang tuaku tiggal di Serang, Banten. 
Si pemain PSSI itu bahkan memboyong tim sepakbolanya kekampung buleku untuk pertandingan persahabatan karena mengiraku tinggal disana.
Kalau dipikir2 hanya masalah keuangan saja rasanya aku baru jujur 100 %.
Mungkin karena aku benar2 berpegangan pada entah hadist atau sunnah nabi aku lupa, agar hanya memakan uang halal dan membiasakan tangan diatas.  
Jadi walau si semprul memegang keuangan Yayasan, aku tak pernah meminta lebih dari gajinya, aku bahkan tak pernah protes walau dia tak pernah mengambil uang lemburnya.
Aku selalu melarang sales2ku menerima apalagi meminta uang atau barang dari debitur. 
Jaman dulu, saat belum ada Good Corporate Governance aku juga berusaha untuk tidak mau menerima uang dari debitur, kecuali dipaksa.

Sebagai orang yang mengerti hukum, sangat mengerti malah mengingat saking  lamanya aku kuliah di fakultas hukum dan tidak lulus2, dalam kehidupan nyata aku benar2 mematuhi hukum.
Sayangnya batas kesabaranku hanya setipis benang.
Bila kutemui ketidak nyamanan menyangkut hukum dan peraturan, otak kriminalku langsung menunjukkan jalan keluar.
Dan itu bukan hanya sekali atau dua kali saja.
Saat mengurus perceraianku dengan si semprul umpamanya.
Setiap kali aku sudah susah payah mengajukan gugat cerai, didalam ruang sidang, didepan hakim si semprul dengan muka memelas mengakui masih mencintai.
Karuan saja sang hakim memerintahkan mediasi, padahal apa yang dimediasi lha aku sudah menikah lagi walau secara siri dan si semprul tahu itu.
Si semprul memang sengaja menggantungkan perceraianku dengannya.
Berkali2 aku “nembak” KTP agar bisa bercerai didaerah lain, berkali2 aku mengajukan gugatan, semua diperintahkan untuk mediasi atau si semprul ingin rujuk.
Menurut peraturan saat itu, gugatan cerai baru bisa dilakukan lagi di PA yang sama setelah 6 bulan.
Berkas2 pun baru bisa diambil setelah 6 bulan

Di PA Cibinong bahkan sudah diputuskan cerai, tapi saat ikrar talak si semprul emoh datang.
Total saat itu aku punya 5 KTP untuk mengurus gugat cerai, KTP Jakarta pusat, Jakarta utara, Jakarta timur, Cilodong dan Sentul.
Jaman belum ada E KTP membuat KTP itu mudah sekali, cukup dengan rp. 250 ribu sudah bisa lengkap dengan KKnya sekalian.
Saking kesalnya digantung2 akhirnya kutempuh jalan terakhir.
Ku buatkan KTP Sentul untuk si semprul, kuajukan gugat cerai dengan KTP Jakarta timurku ke PA Jakarta timur.
Panggilan pengadilan buat si semprul jatuh ke alamat rumahku di Sentul.
Sampai akhir, sidang cerai berjalan lancar tanpa kehadiran si semprul, dia bahkan tak tahu ada sidang cerai.
Saat sudah kuperoleh surat cerai, kukirim copynya ke alamat kantornya.
Bayangkan 3 tahun dan 76 juta sudah habis buat sogok sana sogok sini tapi tetap gagal, dengan bantuan tipu2 baru semuanya selesai.
Saat semuanya tuntas, aku bahkan tak sempat merasa berdosa saking sudah kesalnya dipermainkan dan diulur2 oleh si semprul. 

Saat mengurus gugatan cerai aku sering sekali tak masuk kantor.
Jatah Permisi Potong Cuti kupun tidak di ijinkan lagi padahal cutiku masih banyak, padahal aku toh sedang berada “di unit penampungan” , unit SPR namanya, tempat orang sedang menunggu penempatan, sedang diproses kasus atau dianggap tak bisa bekerja.
Padahal tenagaku tidak diperlukan saat itu.
Rasanya aku tak masuk berbulan2pun BNI tetap jalan karena memang aku sedang non job.
Tapi begitulah dunia kerja, makin sengsara dan terpuruk kehidupan kita, maka kita akan semakin ditekan dan dipojokkan.
Semua mata seakan menghakimi.
Surat Permisi Potong Cuti, apalagi Surat ijin tidak masuk yang kubuat susah payah dengan tulisan rapih tidak diperbolehkan, aku diharuskan  menggunakan surat sakit dari dokter.
Sekali dua kali sih aku bisa saja minta surat ijin sakit dari dokter, tapi masak setiap mau sidang aku harus ke dokter dan bayar rp. 200 ribu? 
Ke puskesmas minta surat ijin dokter tak mungkin kulakukan, saat itu aku memang sedang menjaga gengsi.
Sangat menjaga gengsi malahan.
Kubayangkan misalnya saat aku sedang mengantri di puskesmas tiba2 saja si semprul lewat atau mantan mertuaku melihatku, bisa mereka  jingkrak2 sambil salto diudara selama 7 hari 7 malam melihatku sengsara.
Seperti biasa aku selalu ke dokter di RS di Sunter, dokternya sabar dan familiar karena ada kenalanku disana disamping dekat dengan tempat tinggalku di apartemen Chrissant.
Kembali kuambil jalan pintas.
Kubawa surat keterangan sakit itu ke Mangga Dua, kubuatkan stempel, saat itu hanya 20 ribu membuat stempel.
Kucetak buku keterangan sakit 2 blok lengkap dengan alamat rumah sakit di ujung  atasnya, hanya nomor telponnya kubuat dibalik 2 angka dibelakangnya sehingga kalau di cek ke RS sampai tua bangkotan tidak akan bisa tersambung.
Akhirnya setiap kali sidang, aku tenang dan damai karena sudah mengantongi surat sakit dari dokter Meilani, nama dokter khayalanku.
Sampai aku mengambil pensiun, surat dari dokter Meilani sering dimintakan oleh teman2 kantor yang tidak masuk tapi malas buang2 uang ke dokter.
Kadang kalau habis memberikan surat keterangan dokter kepada teman2 yang menerima surat itu, mereka langsung berterima kasih sambil terkikik2 geli “ terima kasih bu dokter”, sambil tertawa dan menyalamiku berpura2 bicara dg dokter.
Kalau aku menulis ini bukannya ingin mendapat pembenaran atas tindakan salahku, aku hanya memberontak atas keadaan yang kuanggap memojokkanku atas nama peraturan.
Kalau sudah begitu aku lantas membenarkan diri bahwa peraturan itu dibuat untuk dilanggar.  

Saat aku pindah dari Pondok Cabe ke Sentul, mengurus kepindahan itu susahnya setengah mati. 
Bolak balik aku diantar supirku meminta surat pengantar pindah dari RT, RW dan Kelurahan.
Kemarin RT nya keluar kota, besoknya RWnya keluar negeri.
Begitu mengurus kekelurahan juga sama.
Akhirnya aku menyerah.
Sebagai laki2 “penyimpan segala kertas” dari berkas si semprul yang terbawa kutemukan berkas surat pindah saat kami pindah dari Depok ke Pondok Cabe.
Segera saja kubuat surat pindah dengan menggunakan stempel kelurahan dan kecamatan berpedoman pada stempel di KTP.
3 minggu bolak balik mengurus surat pindah akhirnya dalam waktu 2 hari semua bisa tuntas dengan caraku yang diluar aturan.
Terbiasa melanggar aturan dengan tipu2 ternyata sangat berguna dalam pekerjaanku saat menjadi area sales manager kredit BWU.
Tipuan2 model sepertiku selalu berhasil ketahuan.
Kalau soal penipu yang mau pura2 ambil kredit sih sejak awal sudah terdeteksi.
Biasanya ada suara dalam otakku yang mengingatkanku bahwa itu penipu.
Sebetulnya sih bukan cuma itu saja makanya naluriku jalan, kalau orang mau menipu atau punya salah biasanya dia akan banyak bicara, kalau sudah menemui orang seperti itu langsung saja antene dikepalaku berbunyi tuing tuing.
Biasanya aku akan kembali mengunjunginya diluar jam kerja atau menyelidiki ke sekitarnya dengan gaya sok kenal sok dekat. 
Mungkin karena aku suka bohong makanya aku bisa mengenali sesama pembohong.

Tapi kepada anak2ku sikapku berbeda 180 derajat.
Aku selalu menanamkan kejujuran kepada anak2ku, aku tidak suka dibohongi, walau aku sendiri tidak pernah jujur.
Aku dengan segala rasa akan memukul anak2ku apabila ada yang berani mencuri atau berbohong soal uang. 
Kuajarkan bahwa berbohong itu haram, mencuri itu dilarang agama dan hukum.
Sayangnya anak2ku pintar2, jadi mereka bisa melihat dan mendengar perbuatanku yang berbeda dengan anjuranku untuk mereka.
Dalam kesendirianku, kadang kutelaah lagi tindakanku.
Benarkah tindakanku menjauhi anak2ku itu bisa membuat mereka mandiri dan bukan malah membenciku?
Sedikit banyak kesalahan2 mereka itu karena meniru tindakanku, bukankah aku selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan?
Bukankah aku selalu bilang bahwa peraturan itu ada untuk ditaati, kecuali terpaksa, maka  peraturan itu dibuat untuk dilanggar.
Aku memang guru yang baik untuk anak2ku, lalu kenapa aku harus menyalahkan mereka?
Bukankah itu buah yang kutanam dulu?
Seandainya anak2ku membaca ini, percayalah nak, seorang ibu tak akan ingin anaknya mengulangi kesalahan yang sama.
Jangan ikuti ibumu.
Bersabarlah.
Ikutilah semua peraturan yang ada betapapun itu menyakitkan dan memojokkanmu.
Hidup itu bukan cuma untuk hari ini nak.
Jangan penuhi hidupmu dengan penyesalan.
Maafkan ibu ya?

Catatan : 
Kalau mau buat E KTP nanti ibu buatkan surat pengantar palsu ya?
Dosa ibu yang nanggung deh.

Komentar

Postingan Populer