SALAHKAH AKU ?
Karena bolak balik ditanyakan E KTP oleh si tengah, akhirnya aku terpaksa jadi juga mengurus E KTP, mumpung si bungsu sedang liburanlah pikirku.
Dini anak angkatku kusuruh buat surat pengantar untuk kami bertiga dengan dibekali uang buat pak RT.
Pulangnya Dini kulihat hanya membawa badan saja dan bilang “ bu kata pak RT surat pengantarnya habis mau dipesan dulu ke kelurahan.”
“ Waduh....terus uangnya sudah dikasih pak RT? Jangan dikasih dulu Din, kan surat pengantarnya belum dikasih.” Kataku.
“ Yahh.... sudah Dini kasih bu. Tapi nanti kata pak RT Dini besok disuruh balik lagi ambil surat pengantar ke kelurahan.”
Itu kejadian pada hari Selasa 3 januari 2017.
Hari Rabu 4 Januari 2017 :
Dini kembali kerumah pak RT, surat pengantar untuk ke kelurahan belum ada.
Hari kamis 5 Januari 2017 :
Dini kembali kerumah pak RT, surat pengantar sudah didapat dari pak RT.
“ Tapi ibu gak dibuatin surat pengantar bu, kata pak RT kl sudah punya KTP tinggal kasih KTPnya ke kecamatan terus ibu tinggal diphoto E KTP kata pak RT.” Terbata-2 Dini menerangkan.
“Oh ya sudah, ibu kekecamatan sekarang sama mbak Vani, kamu ibu tunggu di kecamatan ya. Kamu sekarang ke pak RW dan ke kelurahan Din, kalau sudah kelar dari kelurahan kamu langsung ke kecamatan. Pakai baju pramuka Din, biar murahan bayarnya. “
Akupun buru2 ganti baju dan pakai make up, yah maklumlah, akukan mau diphoto.
Siapa sih yang ingin kelihatan jelek diphoto KTP?
Sayangnya sampai kecamatan aku ditolak mentah2 dengan sopan.
Untung saja dengan sopan menolaknya.
“ Ibu harus pakai surat pengantar dari RT, RW dan kelurahan bu, baru bisa diphoto E KTP.”
“ Lho kata pak RT saya gak perlu surat pengantar kalau sudah punya KTP.” Kataku ngeyel.
“ Gak bu, ibu tetap harus pakai surat pengantar.” Si petugas lebih ngeyel lagi.
Dengan bersungut2 aku kembali pulang kerumah.
Ingin marah, ingin menangis tapi juga ingin memukul sesuatu atau seseorang.
Kemarin buat surat pengantar Dini saja makan waktu 3 hari, keburu anakku pulang ke Bandung, pikirku dengan kesal.
Untung Dini masih dirumah.
Kulihat surat pengantar dari kelurahan untuk kecamatan tergeletak didepan meja belajarku.
Hmmm....otak kriminalku langsung berputar.
Gampang.
Buru2 kusuruh Dini photocopy surat pengantar itu dengan copy berwarna 2 lembar, untuk aku dan si bungsu, nama Dini yang tertera disitu kusuruh blok.
Abrakadabra....dengan tulisan yang mirip jadilah surat pengantar itu menjadi 3 buah.
Hari Jumat 6 Januari 2017, bertiga dan beriringan aku dan anak2ku ke kecamatan.
Untungnya masih sepi, kami dapat nomor antrian 3,4, dan 5.
Kulihat kedua anakku pucat pasi takut ketahuan kalau surat pengantarnya palsu.
Berkali2 kubilang kepada mereka, bahwa itu bukan palsu tapi cuma diperbanyak 2 lembar saja.
Lagipula kan sejak awal aku sudah berniat untuk buat surat pengantar, siapa suruh pak RT bilang bahwa untuk yang sudah punya KTP tidak perlu pakai pengantar.
Alhamdulilah keadaan nyatanya berjalan aman dan lancar.
Tapi Tuhan rupanya tak ingin aku bahagia 100 %.
Petugas photo sekaligus yang memasukkan data itu ternyata pendiam, ketus dan judes, ditambah lagi tidak tampan.
Saat aku bertanya dia jawab hanya “ heee...eeee..” seperti orang sedang buang air besar tidak keluar2.
“ Ibu siap2 di photo ya, matanya melihat kearah kamera.” Katanya, tanpa menjelaskan kameranya yang mana, karena disitu ada 2 kamera.
Aku bersiap2 memelototkan mataku dan bibirku menyunggingkan senyum maut, melebar 5 cm kearah kanan dan kiriku.
Ternyata yang kupelototi kamera yang satunya.
Buru2 aku protes.
“ Mas tadi saya melihat ke kamera yang satunya, pasti jadinya jelek kan yang dipakai kamera yang sebelahnya.Bisa diulang gak mas?”
“ Gak bisa bu.”
“ Masak saya 5 tahun pakai KTP dengan photo jelek sih?” nadaku mulai meninggi.
“ Ini untuk seumur hidup bu KTP nya.”
“ Apa ? Seumur hidup saya pakai KTP photonya jelek seperti itu?!” aku mulai histeris.
“ Ini gak jelek2 amat kok bu, sama seperti aslinya,” katanya sambil memiringkan layar komputernya kearahku.
Kulihat wanita bermuka sembab dan bermata sipit sedang melotot kearah samping kanan.
” Itukan saya seperti orang juling jadinya.” Aku makin tak puas, apanya yang seperti aslinya!
“ Gak bisa diulang bu. Maaf 4 jari tangan kanannya bu.” Katanya sambil tanpa basa basi meraih tangan kananku dan disodorkan kebenda seperti alas stempel kaca.
Karena masih geram melihat photo jelekku, kutarik tanganku,
Tak rela rasanya tanganku dipegang pemuda judes tak indah dilihat mata seperti dia.
“ Ibu tangannya jangan ditarik bu, ini lagi discreen jadi gak bisa2 kl gerak2.” Katanya masih sambil memegangi tanganku.
“ Saya bisa sendiri, gak usah dipegangi tangan saya.” Kataku ketus.
Rasanya berjam2 aku duduk disitu,begitu selesai lega rasanya.
“ Ini surat tanda terima nya, nanti tanggal 10 ibu kesini lagi ambil surat pengantar ambil E KTP.”
“ E KTP nya kapan jadinya?”
“ Paling lama 6 bulan dari sekarang”
OMG, buat E KTP sampai 6 bulan ?
Kenapa gak 6 tahun saja biar saat KTP nya jadi aku sudah menghilang dari dunia ini tanpa harus melihat photo julingku, kataku dalam hati dengan kesal.
Sepanjang jalan aku mengomel panjang lebar sambil meratapi nasibku, meratapi photo jelekku.
Sesampainya dirumah aku diceramahi habis2an oleh si bungsu, tentang kujujuran dan kesopanan.
Dia malu melihat sikap judesku terhadap sipetugas photo.
Memangnya siapa yang mau tidak jujur?
Sejak semula aku toh sudah membuat surat pernyataan, sayangnya RT semprul itu kasih info menyesatkan.
Aku tidak sopan?
Siapa suruh dia tidak menjelaskan bahwa kamera yang dipakai adalah yang sebelah kiri?
Apa susahnya sih bilang seperti itu.
“ Kamu tahu gak Van apa yang diomong tukang photo itu saat bosnya nanya? Kamu kan gak ngarti bahasa sunda kan, itu makanya mamam jadi kesal.”
“ Memangnya bosnya ngomong apa?”
“ Bosnya tanya, ada masalah apa kok lama, si kecebong itu jawab ini ada orang tua ribet minta diulang lagi photonya padahal memang wajahnya sudah seperti itu pasrah aja kenapa sih. Kalau Vani jadi mamam gimana reaksinya? Kesal kan. Kayak dia ganteng saja. “
“ Oh ya sudah, memang orangnya gak sopan duluan berarti. Tapi mamam juga jangan menjudge sembarangan, tukang photo itu belum tentu pendukung Jokowi walau pakai baju kotak2 mam, itu kan kotak2nya warna biru.”
“ Pasti kecebong pendukung Jokowi dia Van. Kecebong sukanya kan pakai baju kotak2, pasti kolornya juga kotak2.” Suaraku mulai meninggi.
“ Udah ah, Vani mau kekamar Vani, mamam kalau marah semua2 dikait2kan. Mending mamam sholat dhuhur deh sudah adzan tuh.”
Pecakapan selesai.
Dan akupun termenung lesu, salahkah aku Tuhan?
Bukankah kecebong selalu pakai baju kotak2?
Komentar
Posting Komentar