TERNYATA AKU TIDAK SALAH

 

Karena anak2ku sudah besar dan keadaan sudah terlanjur tidak terkendali, aku jarang membaca tips2  tentang hubungan ibu dan anak.
Buku cara mendidik anak, cara mengendalikan kemarahan serta cara mendidik anak agar pintar telah banyak kubeli.
Kubaca memang, karena aku suka membaca, tapi cuma sebatas membaca, tak pernah kuterapkan dalam keseharian.
Selama ini banyak kesalahan yang kulakukan dalam mendidik anak.
Sebagai idealis apalagi ditambah embel2 anak hukum, aku dan si semprul sangat mengutamakan demokrasi dan kebebasan bersuara, maklum saat  itu demokrasi tak ada memang di Indonesia, partaipun hanya ada Golkar.
Itu keadaan diluar rumah, sementara didalam rumah juga sama.
Suara ibu adalah sabda pandita ratu yang tidak bisa dibantah.
Jadilah aku dan suamiku yang sangat mengidolakan kebebasan bersuara langsung menerapkannya pada anak2.
Keputusan yang salah.
Anak2 belum bisa membedakan antara berterus terang menyatakan pendapat dan kekurang ajaran.
Sampai akhir aku masih menyalahkan diri karena salah menerapkan pendidikan buat anak2.
Unggah ungguh atau tata krama memang kuajarkan dengan keras malahan.
Kalau ada tamu datang atau kita bertamu, harus salim atau cium tangan.
Sayangnya anak2 tetap anak2.
Si tengah kerap ngeyel tidak mau cium tangan dengan berbagai alasan yang umumnya benar.
Seperti saat kerumah bos ku pak Satori, pemimpin kantor kas Margonda Depok.
“ Dea gak mau cium tangan bu, tadi pas datang Dea cium tangan, tangannya bau terasi bu. Dea gak mau bu.” Anakku si tengah bicara kencang sampai terdengar bu Satori, padahal aku membujuknya sambil bisik2.
Bukan aku namanya kalau bisa tunduk dengan anak2.
“ Kamu cium tangan sana, tahan napasnya, nanti ibu kasih uang seribu.”
Langsung saja anakku cium tangan bu Satori.
Sambil pamit pulang aku minta maaf berulang2.
“Gak apa2 bu Rita. Dea itu jujur, tadi ibu memang lagi nyambel terasi pas ibu Rita datang.” Kata bu Satori sambil senyum menenangkan.
Pernah saat saat pertama kali si semprul datang kekantorku membawa anak2 karena besoknya aku akan cuti kejadian yang sama terulang, malah lebih parah.
Kusuruh anak2 bersalaman pada beberapa orang yang tersisa di ruangan.
Dea si tengah menolak bersalaman dengan bosku.
“ Nanti Dea jangan disuruh salaman sama bapak2 yang duduk disitu ya pak,” sambil tangannya menunjuk kursi bosku,” Dea benci pak, masak dia genit sama ibu kita, matanya kedip2 gitu lihat ibu kita.” Kata si tengah pada si semprul bapaknya.
Muka si semprul merah padam karena marah.
 “ Anak kecil itu nuraninya bersih, jadi dia bisa lihat kalau ada orang yang jahat.” Kata si semprul berbisik pelan ditelingaku.
Akhirnya kami pulang tanpa ada adegan anak2 yang cium tangan, kami hanya pamit sambil manggut2 sopan.
Sejak saat itu, untuk menghindari kejadian anak2 menolak cium tangan, sebelum pergi kerumah mertua atau bertandang kemana2, dimobil aku selalu melambai2kan uang ribuan baru untuk anak2ku.
Saat itu uang seribu bisa dipergunakan beli es krim 4 buah, mungkin sekarang nilainya 10 ribu.
Lama2 tuntutan anak2ku bertambah, mereka memang pintar berhitung.
Setiap satu orang yang dicium tangannya mereka meminta tarif seribu rupiah, kalau ada 10 orang ya berarti sepuluh ribu.
Kalau sudah begitu, tawar menawar dengan anak2 dilakukan oleh si semprul karena aku menyerah kalah.
Disinilah awal mula anak2 menjadi mata duitan menurutku.
Segala sesuatu dihargai dengan uang, uang dan uang.
Ditambah lagi aku merasa bersalah, beda kota, beda rumah dan meninggalkan anak2 dalam pengawasan pembantu dan si semprul membuat aku menebus rasa bersalah dengan uang dan selalu menuruti kemauan anak2.
Aku memang bukan ibu yang baik, sikapku lebih mirip komandan hansip terhadap anak2.
Tak boleh melakukan salah dan selalu money oriented.
Saat mereka dewasa dan aku sudah tak sanggup menundukkan anak2 dengan uang, kuambil tindakan drastis menjauhkan diri dari anak2.
Apapun alasannya, tindakanku lebih seperti menyiksa diri sendiri karena menjauhi orang2 yang kusayangi.
Aku berusaha tegar memang, berusaha membenarkan tindakanku demi agar anak2 mandiri, demi agar anak2 sopan dan menghormati orang tua, demi agar anak2 bisa menghargai arti uang.
Sudah banyak contoh betapa berbahayanya mengajarkan anak tidak mandiri menurutku.
Disaat aku ragu2, benarkah tindakanku menjauhi anak2, di group WA yang kuikuti, kubaca kajian parenting dari Ibu Elly Risman, senior psikolog dan Konsultan UI.
Bacalah, dan resapi.
Ternyata tindakanku benar kan?

KAJIAN PARENTING

Kita tidak pernah tahu, anak kita akan terlempar ke bagian bumi Allah yang mana nanti, maka izinkanlah dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri .
Jangan memainkan semua peran,
ya jadi ibu,
ya jadi koki,
ya jadi tukang cuci.
ya jadi ayah,
ya jadi tukang ledeng,

Anda bukan anggota tim SAR!
Anak anda tidak dalam keadaan bahaya. 
Tidak ada sinyal S.O.S!
Jangan selalu memaksa untuk membantu dan memperbaiki semuanya.

#Anak mengeluh karena mainan puzzlenya tidak bisa nyambung menjadi satu, "Sini...Ayah bantu!".
#Tutup botol minum sedikit susah dibuka, "Sini...Mama saja".
#Tali sepatu sulit diikat, "Sini...Ayah ikatkan".
#Kecipratan sedikit minyak
"Sudah sini, Mama aja yang masak".
Kapan anaknya bisa?
Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana, Apa yang terjadi ketika bencana benar2 datang?

Berikan anak2 kesempatan untuk menemukan solusi mereka sendiri.
Kemampuan menangani stress, menyelesaikan masalah, dan mencari solusi, merupakan keterampilan/skill yang wajib dimiliki.
Dan skill ini harus dilatih untuk bisa terampil.
Skill ini tidak akan muncul begitu saja hanya dengan simsalabim!
Kemampuan menyelesaikan masalah dan bertahan dalam kesulitan tanpa menyerah bisa berdampak sampai puluhan tahun ke depan. bukan saja bisa membuat seseorang lulus sekolah tinggi, tapi juga lulus melewati ujian badai pernikahan dan kehidupannya kelak.

Tampaknya sepele sekarang...
Secara apalah salahnya kita bantu anak?
Tapi jika anda segera bergegas menyelamatkannya dari segala kesulitan, dia akan menjadi ringkih dan mudah layu.
Sakit sedikit, mengeluh.
Berantem sedikit, minta cerai.
Masalah sedikit, jadi gila.
Jika anda menghabiskan banyak waktu, perhatian, dan uang untuk IQ nya, maka habiskan pula hal yang sama untuk AQ nya.

AQ?
Apa itu?
ADVERSITY QUOTIENT
Menurut Paul G. Stoltz,
AQ adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.
Bukankah kecerdasan ini lebih penting daripada IQ, untuk menghadapi masalah sehari-hari?
Perasaan mampu melewati ujian itu luar biasa nikmatnya.
Bisa menyelesaikan masalah, mulai dari hal yang sederhana sampai yang sulit, membuat diri semakin percaya bahwa meminta tolong hanya dilakukan ketika kita benar2 tidak sanggup lagi.
So, izinkanlah anak anda melewati kesulitan hidup...
Tidak masalah anak mengalami sedikit luka, sedikit menangis, sedikit kecewa, sedikit telat, dan sedikit kehujanan.
Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan.
Ajari mereka menangani frustrasi.

Kalau anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel,
Apa yang terjadi jika anda tidak bernafas lagi esok hari?
Bisa2 anak anda ikut mati.
Sulit memang untuk tidak mengintervensi, ketika melihat anak sendiri susah, sakit dan sedih.
Apalagi menjadi orangtua, insting pertama adalah melindungi,
Jadi melatih AQ ini adalah ujian kita sendiri juga sebagai orangtua.

Tapi sadarilah,
hidup tidaklah mudah, masalah akan selalu ada.
Dan mereka harus bisa bertahan.
Melewati hujan, badai, dan kesulitan,
yang kadang tidak bisa dihindari.

By : Ibu Elly Risman
( Senior Psikolog dan Konsultan, UI )

Ternyata tindakanku mengajarkan kemandirian, ketegaran dan kesopanan walau terlambat diusia dewasa mereka adalah benar. 
Maafkan tindakanku anakku, kubiarkan kalian melewati kesulitan hidup.
Aku hanya ingin kalian kuat.
Benar, hidup tidaklah mudah, aku sudah mengalaminya, jatuh bangun ditimpa masalah, berdarah2 dihina dan dilecehkan keluarga serta pemimpin.
Percayalah anakku, masalah akan selalu ada, dan aku hanya ingin kalian bisa bertahan.
Kali ini tindakanku benar....

Komentar

Postingan Populer