WAKUNCAR. MASIH ADAKAH?


35 tahun yll, jam2 seperti ini aku pasti sedang mandi setelah luluran dan keramas. 
Aku ingin saat pacarku datang aku sudah mandi dan wangi. 
Aku yakin pacarku pasti menciumku.
Tidak ada yg tidak ingin.

Rumahku dulu di desa Bendungan, antara Depok dan Cibinong, dekat asrama tentara Cilodong.
Kalau musim penghujan jalannya berlumpur. 
Kadang pacarku tidak bisa datang bila hujan lebat, saking licinnya jalanan menuju rumah.
Tapi ada beberapa diantaranya yg benar berjuang demi cinta, mereka taruh kendaraan di ujung gang masuk, dekat mesjid dan kuburan, lalu berjalan kaki sejauh 500 meter menuju rumahku. 
Biasanya ciumanku terhadap pejuang2 cinta spt itu lebih mesra dan sepenuh hati, karena biasanya hubunganku sebatas mencoba rasa saja tidak pernah lama. 
Aku memang cepat bosan.
Penduduk kampung Bendungan tempatku tinggal tidak bersikap ramah terhadap pendatang seperti aku dan keluargaku. 
Bisa dibayangkan bila ada mobil pacarku yg menabrak pagar dr tanaman singkong mereka, seperti pak Amat misalnya, dg wajah garang mereka minta ganti rugi  sampai puluhan ribu.
Rasanya mereka menunggu nunggu musim hujan agar pagar singkongnya bisa ditabrak oleh pacarku.
Siapa bilang orang kampung itu lugu dan baik hati?
Tidak semua, paling tidak, tidak dikampungku ini.
Mungkin itu juga salahku. 
Selama ini aku jarang bergaul dg pemuda2 didesa itu. 
Bila ketemu dijalan paling mengangguk saja.
Aku toh bisa berhitung.
 Dengan pendidikan yg rata2 hanya SMP atau SMA, masa depan apa yg bisa kuraih bila bergaul apalagi sampai berpacaran bersama mereka? 

Dulu saat aku kelas 2 SMA ayah membolehkan aku dan adikku Wiwik, untuk berpacaran, asal pacaran dirumah, seandainya pergipun paling cuma makan di Cibinong.
Setiap sabtu siang, biasanya diam2 aku sudah memeriksa lampu diteras tempat kami biasa pacaran. 
Saat sepi biasanya lampunya aku kendorkan sehingga saat dinyalakan malam nanti biasanya padam. 
Hanya 1 lampu biasanya yg kukerjai, tidak kedua2 lampu teras yg kukerjai.
Ayah seperti ayah2 lainnya benar melebihi satpam di mall CCM sikapnya. 
Teras depan rumahku dipasangi lampu neon panjang sebanyak 2 buah, jd saat kami duduk diteras mirip dengan ada di akuarium.
Dimeja tamu sambil berbasa basi ayah menaruh wekker, dan diputar di jam 10 malam, saatnya utk pulang.
Jadi Wakuncar, waktu kunjung pacar, istilah saat itu, hanya sampai jam 10 saja. 
Lebih dari itu alarm dr wekker besar diruang tamu berbunyi terus menerus. 
Kami, aku dan adikku, tidak berani mematikan suara alarmnya.  
Ayah juga memasang bel ruang tamu, tapi dipasang terbalik, suaranya bukan kedalam rumah tapi keluar rumah. 
Jadi kl jam 10 malam pacar2 kami belum pulang rumah langsung ramai dengan bunyi alarm dimeja tamu di teras dan bunyi ting tong ting tong bel tamu yg dipencet ayah dari dalam saling bersahut2an.

Pernah suatu saat ayah sedang berbaik hati kr pacarku membawakan martabak dan kue2 kesukaan ayah. 
Kami diijinkan nonton dan jam malam diperpanjang sampai jam 12.
Horee.. aku kegirangan.
Saat itu malam tahun baru 1979 menuju 1980.
Aku berpacaran dg Jijin, china ganteng tinggi besar, sementara adikku dg orang Timor, Ferdiani Ndaumanu.
Apesnya saat sampai rumah jam 12 lewat, rumah sudah gelap.
Adikku kusuruh mengetuk pintu rumah berkali2. 
Suara adikku  memang lebih kencang dari suaraku, dan dia anak kesayangan ayahku makanya kusuruh dia. 
Agar ayah tidak marah maksudku.
Lewat jendela kaca besar, gordeijn kuning coklat rumahku tersibak, wajah ayah muncul dan bilang"kenapa pulang jam segini? Tanggung. Pulang pagi aja sekalian."
Adikku berteriak kegirangan "Betul boleh pulang pagi yah? Trima kasih yah!" .
Adikku buru2 menghampiriku yg masih menunggu dimobil sambil jingkrak2 kesenangan.
"Mbak Ida, kita boleh pulang pagi kata ayah. Kata ayah tanggung soalnya."
"Betul Wi ayah bilang gitu? Kamu gak salah dengar?"
"Betul mbak. Masak wiwi bohong sih? Mana berani Wiwi bohong sama mbak?"
Akhirnya kamipun putar balik dan nonton midnight new year dan membeli karcis dr tukang catut sampai jam 4 pagi, dan berasyik masuk dimobil yg diparkir dihalaman rumah menunggu pintu rumah terbuka.
Saat matahari sudah terbit kusuruh pacar2 kami pulang. 
Untung kusuruh pulang, kalau tidak kami bakal malu besar.
Ayah membuka pintu sambil bawa gesper, dan memukuli kami habis2an, tentu saja aku lebih banyak porsi pukulannya kr sbg si sulung harusnya memberi contoh yg baik.
Kami hanya bisa menangis.
Tapi kami bahagia, lebih baik dipukuli ayah, lebih cepat selesai walau harus biru2 seluruh tubuh, paling hanya 15 menit selesai, itupun termasuk sumpah serapah ayah dan ibuku.
Sebab pilihan lainnya selain dipukuli lebih menakutkan buat kami anak2nya. 
Dinasehati ayah!!
Kalau sudah dinasehati ayah badan lebih sengsara rasanya. Pegal2 dan ngantuk silih berganti.
Ayah kalau menasehati bisa sampai 2 atau 3 jam. 
Sering aku ketiduran, dan baru bangun saat ayah menggebrak meja sambil teriak "Dengar gak ayah ngomong!"
Sumpah, kami lebih baik dipukuli ayah daripada dinasehati ayah.
Berputar2 tak tentu arah. 
Diulang lagi diulang lagi sampai hafal rasanya.
Setelah lelah memukuli kami, ayah baru bertanya dengan wajah sedih "kok bisa kamu semua melanggar perintah ayah? Ayah kecewa sekali."
Itulah jeleknya semua orang tua kurasa. 
Mirip polisi Indonesia.
Pukuli dulu baru bertanya kemudian. 
Kenapa, kenapa,kenapa?

Kelak barulah kami tahu ternyata ada kesalah pahaman. 
Ayah saat mau membuka pintu depan, tidak menemukan kunci pintu depan, sehingga berputar ke paviliun untuk membukakan pintu paviliun. 
Saat ayah keluar, kami sudah pergi lagi. 
Ternyata ayah cuma merajuk saat bilang " tanggung, sekalian pulang pagi saja".
Adikku Wiwi memang tidak pintar, walau wajahnya cantik seperti bintang film Lenny Marlina. 
Wajar saja kalau dia salah tangkap perkataan ayah.

Aku sering memanfaatkan kecantikan dan ketidak pintaran serta keluguan adikku. 
Dulu semasa listrik belum masuk desa kami, untuk menonton TV Phillips 24 inc dirumah kami terpaksa pakai accu besar kalau tidak salah ukuran 24 volt, entahlah aku tak tahu istilahnya. 
Tiga hari atau kadang2 setiap lima hari sekali kami bergotongan mengangkat aki besar dan berat itu pakai bambu untuk di stroom. Jaraknya cukup jauh,+/- 1 km.
Aku kerap membujuk adikku untuk meminta tolong pemuda2 kampung kenalannya untuk membawa accu.
Aku hanya diam mengikuti dr belakang, sementara didepanku adikku berjalan sambil berceloteh riang memuji otot2 lengan anak2 itu.

Wakuncar kami berlangsung dibawah sinar neon terang benderang. 
Aku disudut paling strategis sementara adikku disudut lain, dibawah sinar lampu, tidak bisa berciuman karena terang benderang dan bisa dilihat orang. 
Adakalanya kepandaian memang sejalan dengan akal licik menurutku.
Aku beruntung lebih pandai dan lebih licik.

35 atau 30 tahun kemudian, masih adakah istilah Wakuncar di pergaulan anak2 muda sekarang?
Wakuncar...waktu kunjung pacar.
Aku hanya bisa mengenang masa lalu sambil luluran, menghindari keriput2 diwajah.

Komentar

Postingan Populer