KENAPA KAU LUKIS AKU SEPERTI ITU GUS?
Dear Diary
Pagi ini saat aku melihat postingan teman FB ku sedang melukis, perasaanku seperti tertusuk duri.
Lukisan Susentono Seno itu bagus tapi aku jadi ingat pelukis lainnya, yang dulu pernah bertengger dihatiku.
Dear Diary,
Kuduga dulu aku mencintai sang pelukis ini.
Kuduga saja. Aku soalnya senang banget lihat tubuh tingginya.
Saat jalan bersamanya aku bisa pakai sepatu tinggi.
Pasti itu cinta bukan Dear Diary?
Dengan rambut panjang, kulit putih hidung mancung, jaket jins biru muda kumal dan dengan gitar dipunggung dia datang membawa tawa dan rasa dikagumi. Matanya selalu terkagum kagum saat melihatku.
Dia datang siang itu sambil menenteng gitarnya.
Ibu ku pernah mengusirnya saat dia datang.
" Maaf gak ada uang receh." kata ibu.
" Saya mau ketemu Ida bu."
" Oh bukan mau ngamen ya? Sebentar ibu panggil Ida. Eh tapi kamu pengamen bukan?" tanya ibu lagi.
" Bukan bu, saya masih kuliah di FMIPA UI." jawab temanku.
" Iya kuliah tapi sambil ngamen kan?" desak ibu dengan tegas dan sok yakin.
Untung aku segera keluar saat kulihat dari jendela kamarku bayangannya.
Dear Diary
Kadang kami berdua cuma diam, maksudku aku yg diam memperhatikan nya bermain gitar sambil mencoba coba mengarang lagu.
Siapa yg tidak bahagia kalau punya pacar pintar gitar dan bilang bahwa dia punya beberapa lagu ciptaannya yg diciptakan khusus untukku.
Lalu dia memetik gitar sambil bernyanyi, menyanyikan lagu ciptaannya " Dia matahariku," dan "sepenggal cinta untuk Ida".
Khayalku, bahagiaku melambung tinggi, suaranya menurutku seksi, dalam.dan berat.
Tiba2..prang..suara tutup panci dibanting.
" Suara gak enak aja sok sokan jadi penyanyi."..itu suara ibuku.
"Anakku disekolahi tinggi tinggi cuma buat dijadikan pengamen.
" Cuek aja Gus, nyokapku kalau jam segini memang suka kumat. Nyokapku punya penyakit aneh, dia kl lihat cowok ganteng suka ngomel2 dan ngomong sendiri. Katanya embah ku sih dulu nyokap pernah diputusin cowok nya yg ganteng makanya dendam sama cowok ganteng."
Aku membesarkan hatinya dengan kibulanku. Gak apa2lah ini bukan fitnah menurutku, aku hanya tidak berkata.dengan benar saja.
Saat dia pamit pulang, ibu hanya bergeser agak miring sedikit duduknya dan ...bunyi kentut pun terdengar.
Aku malu sejadi jadinya.
Susah payah aku cari pacar, sikap ibu malah seperti itu.
Tanpa sadar air mataku keluar.
Itu pertama dan terakhir kali dia datang.
Aku tak membolehkannya datang.
Dear Diary
Ibuku memang seperti itu.
Entah kenapa kalau adikku Wiwik yang bawa pacarnya datang ibu bisa berbasa basi.
Apakah karena pacarnya Wiwik selalu bawa martabak manis kalau datang ?
Pada saat pacaran dengan si semprul pun ibu tidak setuju.
"Kowe anak pecandu narkoba kok dipacari sih? Cari pacar iku mbok yang bener! Dulu pengamen sekarang pecandu narkoba." suara ibu naik 2 oktaf.
" Siapa yg pecandu narkoba sih, Lilik ngerokok saja enggak kok."kataku.
" itu matanya kriyep2 kayak orang ngantuk. pecandu narkoba kan matanya kriyep2."
" Jelas saja matanya kriyap kriyep dia mungkin ngantuk.
Pulang kuliah jam 10 masih nganterin Ida. Kuliah di Rawamangun, ke Cilodong antar Ida, nanti balik lagi kerumahnya di Tanah Abang. Harusnya ibu berterima masih ada yg anterin Ida, jadi Ida gak perlu naik bus desak2an." jawabku membela nama baik si semprul.
Entah kenapa setiap menghadapi pacar2ku ibu bisa tiba2 kentut atau membuang ludah. ini suatu kelebihan ibu menurutku.
Dear Diary
Sejak pacarku dikentuti ibu, kami selalu ketemuan diluar. dia datang ke kampusku di Rawamangun atau aku datang ke kampus Salemba.
Karena sama2 bokek, kami cuma makan kuaci sampai berbungkus bungkus saat pacaran.
Hubunganku dengannya putus tus tus tus saat aku diberi sebuah lukisan.
" Buka Da, ini lukisan wajah kamu. Semalam aku gak bisa tidur.makanya aku melukis ini."
" Lho kamu melukis juga?" aku pura2 kaget, padahal sih aku tahu banget kl dia pelukis dan suka ikut ke Pasar Seni Ancol.
" Terima kasih ya Gus" sambil kukecup keningnya dengan segenap rasa haru.
Dear Diary
Saat kubuka gulungan itu, aku terbelalak kaget.
Saat itu ingin rasanya aku mencekik leher siapapun yg ada didepanku.
" Ini aku Gus?" tanyaku tak percaya.
Kok jelek amat ya?.
" Iya itu kamu" sambil mengecup balik dahiku "bidadariku" bisiknya mesra.
" Jadi aku seperti ini ya dimata kamu?" suaraku tersendat sendat, antara sedih dan marah.
" Iya. Kamu tegas orangnya, lucu, dan romantis. Lihat mata kamu yang sipit. Kl sudah memicingkan mata memancarkan ketegasan, aku kadang takut lihatnya. Lihat bibir kamu, tebal dan agak maju, bibir yang slalu mendorongku, menyemangatiku dan menghiburku. Coba lihat hidungnya deh, diseluruh wajahmu, aku paling suka lihat hidung kamu" katanya sambil memencet hidung pesekku.
Aku hanya bisa diam dan mengucapkan ayat qursi berkali kali agar marahku hilang.
Tak lama, aku ajak dia pulang, setelah sebelumnya aku menciumnya dalam dalam dan lembut penuh perasaan.
"Terima kasih Gus atas semuanya. Kamu baik banget sih. Aku gak bakal lupa lukisan ini. terima kasih.."
Rumah kami sejalan, jadi aku pulang diantar motor Binternya.
Saat diujung gang kembali kuucapkan terima kasih.
Dear Diary
Sejak itu aku menghindar darinya.
Dia telah melanggar batas, hidungku.
Hidung ini bukan buat dipencet2 apalagi dikagumi.
Bukan pula dijadikan hinaan.
Dalam sekejap cintaku sirna karena lukisannya.
Lukisannya memang mirip wajahku, kalau dia tidak bisa melukis tidak mungkin banyak yang memesan lukisannya.
Kesalahannya cuma 1, kenapa hidungku dilukis apa adanya ; pesek.
Apakah dia tidak bisa bertenggang rasa, membuat mancung hidungku dan membuatku terlihat cantik.
Apakah dia tidak tahu kalau aku benci hidung pesek ini.
Dear Diary
Aku pindah dan numpang dirumah buleku di Gudang Air, entah seminggu atau 2 minggu, aku juga tidak pergi kuliah, total menghindarinya.
Saat ibu menelpon " pulang Da, pacarmu yg tukang ngamen itu sdh gak kesini lagi, sudah ibu usir.Jangan nginep lama2 dirumah orang, ora ilok." ibu langsung menutup telpon.
Yah putus lagi cintaku
Good bye Gus,
cinta memang tak harus bersatu...
Komentar
Posting Komentar