SI BUNGSU, MY SWEET ENEMY



Dear Diary
Saat hari selasa kemarin aku ke gerai Samsung Service Center, aku tak pernah mengira akan diharuskan meninggalkan HP belahan jiwaku itu.
Aku toh cuma ingin cek saja kenapa kamera HP ku kerap berbintik2 hitam hasilnya.
Kalau saat photo pemandangan atau ruangan masih mendinglah, paling disangka ada aura negatif atau penampakan dalam ruangan saja oleh yang melihatnya.
Tapi kalau saat photo2 wajah temanku misalnya, lalu muncul noktah hitam, itu bisa dianggap pembunuhan karakter oleh teman2ku nantinya, maklumlah teman2ku darimanapun asalnya adalah orang yang kritis mandraguna dan tidak ingin jadi jelek.
Ternyata HP Samsungku dipastikan harus diganti kameranya.
Untung sebelum aku bersumpah macam2 untuk meyakinkan petugas Customer Servicenya bahwa HP itu baru kubeli Februari lalu, sang petugas sudah bilang “kameranya harus diganti ya bu. Ini masih full guaranty bu, baru 6 bulan ya?”
Entah tahu darimana dia, padahal aku cuma menyodorkan box HP saja.
“Berapa lama HPnya diservice mbak?” tanyaku was2.
“Paling lama 4 atau 5 hari bu. Tapi datanya semua hilang ya bu, baik WA, Telegram, contact atau photo.”
“Ibu bawa USB, bisa datanya dipindahkan ke USB dulu mbak?” aku masih berusaha menawar.
“Gak bisa bu.” Tuntas dan pasti jawab sang petugas.
“Gak bisa lebih cepat ya mbak? Kok lama sekali ya servicenya?” keluhku.
“Gak bisa bu. Kalau memang bisa lebih cepat nanti ditelpon oleh kami bu.” Kata sang petugas.
“Yah terpaksa kita beli HP lagi van, langsung sajalah beli.” Kataku dengan lesu pada si bungsu yang mendampingiku ke counter itu.
“Mamam gayanya kayak orang kaya aja. Pinjam HP Vani kan bisa, ngapain beli2 HP lagi. Kayak mamam banyak duit aja.” Si bungsu langsung menjawab, didepan sang petugas customer service dan antrian2 dibelakangku.
Mana suaranya kencang dan ketus lagi.
Ya Allah, betapa malunya.
Ingin aku bertanya, berapa sih ukuran tidak punya uang menurut dia?
Jangan disamakan dengan bapaknya yang kaya raya subur makmur loh jinawi.
Kalau untuk beli HP baru sih aku masih adalah uang.


Dear Diary
Semua orang rasanya melihat punggungku, wajahku atau sampig kanan kiriku, rasanya mereka ingin melihat wajah “ mamam sok kaya” yang disebutkan oleh cewek judes tinggi berbaju hitam2.
Buru2 aku pergi dari counter HP Samsung itu.
Dan, disinilah aku, sendirian merindukan dengar dering telpon atau sms2 penawaran dari macam2.
Untung si bungsu menepati janjinya, nomor simpatiku join didalam HPnya.
Yah bukan apa2, di nomor simpatiku itulah terdapat kontak person untuk kost dan penjualan rumah.
Bila dering HP si  bungsu berbunyi, dengan penuh harap aku bertanya “telpon buat mamam ya van?”.
“Ya  ampun, bukan mam. Nanti kalau ada telpon buat mamam juga Vani sampaikan.”
“Janji ya, soalnya mamam lagi bikin janji sama bekas teman kantor mamam mau jalan ke puncak.”
“Nanti mamam ke puncak atas biaya siapa?” si bungsu langsung bertanya kepuncak permasalahan.
“Biayanya di share kok van. Mamam juga gak suka dibayarin.”
“Sudah 2 bulan mamam pengeluarannya over limit, minta tambahan2 terus ke Vani. Mamam seharusnya bisa irit, mamam kan sekarang jarang kemana2.” 
Si bungsu tanpa jera dan jeda menasehatiku.
Inilah harga yang harus kubayar karena meminta si bungsu sebagai pemegang keuanganku.


Dear Diary
Sebelum anakku si bungsu pulang ke Bandung,  anakku membujuk2 mengajakku menonton film.
“Habis dari ambil HP di Samsung Service Center, kita langsung nonton ya mam”.
“Film apa Van? Jangan film yang ada cium2an atau tidur2annya ya, mamam jijik lihatnya.” 
Sambil menoleh dengan gerakan disengaja, aku curiga anakku gerakannya mengejekku rasanya, anakku menjawab “ mamam serius sudah gak suka film begituan? Bukannya mamam dulu suka beli sampai puluhan film ?”
“Dari dulu juga mamam gak suka kok. Kalau mamam suka beli film porno itu kan buat oleh2 teman mamam yang sedang pelatihan di Jakarta. Mereka suka pada nitip karena mamam kan kantornya dekat Glodok. Soalnya kalau mereka beli sendiri di Glodok suka dibohongi penjualnya van, beli film BF gak tahunya isinya film Sinchan. Lagian ngapain juga mamam lihat film seperti itu, masih juga pinteran mamam kok aktingnya.” 
“Mamam tahu gak sih, Vani suka sebel kalau mamam diajak ngomong sama Vani terus sombong begitu.”
“Mamam gak bohong kok, tanya saja sama bapakmu, mamam pinter gak kalau ditempat tidur. Bapakmu itu suka  klepek klepek kl audah berdua mamam. ”.
“Udah ah Vani gak mau dengar. Harusnya mamam sebagai ibu kalau bicara sama anak ada sensornya, jangan hal2 yang porno begitu dibicarakan sama anak. ”
Anakku pelan2 berjalan menjauhiku dengan wajah cemberut.


Dear Diary
Selalu begitu.
Hanya sejam atau malah kadang cuma semenit kami akur, selanjutnya selalu saja ucapanku selalu salah dimatanya.
Tak pernah benar.
Kalau sudah begitu aku dalam hati langsung menyumpahi si semprul mantan suamiku dulu, kenapa saat menanam ari2 si bungsu dulu dia lupa memberi gula merah yang banyak agar tidak judes seperti ini.
Aku kan gak mungkin bisa memberikan gula merah kr masih sakit usai melahirkan.


Dear Diary
Kalau sudah marah untungnya anakku itu cepat reda kemarahannya.
Begitu taxi Blue Bird lewat wajahnya langsung cerah, “kita naik ini ya mam”, sambil siap2 melambaikan tangan menyetop taxi.
“Wah sayang van,kita naik bus saja Van, bisa irit 150 ribuan.” Ujarku kalem.
Sebetulnya sih aku lebih suka naik taxi yang sudah pasti sejuk, tapi karena habis diceramahi soal irit akupun langsung beraksi negatif.
Jadilah kami akhirnya naik bus. 
Panas, gerah tapi bisa hemat 150 ribu.
Itu yang ingin kutunjukkan pada anakku.


Dear Diary
Di bioskop kembali aku bersitegang dengan si bungsu.
“Kita nonton Ghostbusters saja mam. Vani lihat cuplikan filmnya lucu kok mam. Yang main gemuk2 kayak mamam. Lucu deh filmnya” 
Anakku mungkin maksudnya melucu, tapi bagi orang gemuk sepertiku, dibilang gemuk adalah pantangan, nyawa taruhannya bila perlu.
“Mamam gak suka film setan, film Jason Bourne saja. “
“Setannya lucu kok mam, jagoannya juga lucu2. Gemuk2 badannya”.
Kembali kata “gemuk” diulangi lagi.
“Mana ada setan lucu, seumur hidup mamam belum pernah lihat setan ada yang lucu. Kalau Vani mau nonton Ghostbusters kamu nonton sendiri saja, biar mamam nonton Jason Bourne. Kan mulainya film barengan, nanti ketemuan di lobby saja kalau sudah selesai.” 
Aku bersikeras tidak mau nonton film Ghostbusters si pemburu hantu.
Bukan cuma karena pemerannya wanita gemuk sepertiku, tapi menonton film itu serasa diingatkan lagi kebodohanku, dibohongi oleh seorang ustadz, ustadz Ali namanya, yang konon pemburu hantu mahir.


Deae Diary
Dulu melalui perantaraan anak buahku, ustadz Ali kuundang kerumah untuk memburu hantu.
Berbagai macam persyaratan coba kupenuhi dalam waktu singkat dan mepet, berbotol2 sirup ABC kubeli dan kubuang sirupnya karena hanya botolnya yang diperlukan untuk menaruh hantu yang tertangkap.
Aku sendiri yang mempersiapkannya dibantu oleh tetangga sebelah rumah.
Didalam kamar yang kelak akhirnya kujadikan mushola, sang ustadz gedebak gedebuk berkelahi dengan hantu2,dalam ruangan gelap gulita karena lampunya sengaja dimatikan.
Bodohnya aku tak bisa membayangkan bagaimana berkelahinya lha wong sang ustadz tidak bisa jalan?
Kerumahkupun harus digendong tetanggaku.
Tak sampai kesitu pikiranku saat itu.
Aku telah dibutakan pencitraan dan kekaguman yang membabi buta.
Kelihatan memang capek sekali wajahnya.
Sekarang kalau dipikir lagi, yah wajar saja kalau capek, kami semua kan tidak tidur semalaman, aku juga capek kok.
Berbotol2 bekas sirup ABC yang konon berisi setan yang berhasil ditangkap, yang tidak bisa dilihat mata, kubuang ke kali yang mengalir didepan rumah.
Besoknya, tetap saja sang setan masih berkeliaran dirumahku, kadang menimpukku pakai sikat gigi atau sabun botol, kadang malah menyerupai aku, memakai daster butut naik turun tangga.
Hal yang tak mungkin kulakukan, karena aku benci naik tangga.
Aku naik ke lantai atas kamar si bungsupun setahun sekali belum tentu mau

Kakiku kan sakit, mana mungkin naik turun tangga?
Yah tapi mana anakku mau mengerti alasan keberatanku, yang ada malah dia akan menasehatiku panjang lebar tentang aliran sesat segala macam kalau cerita tentang kisahku saat dibodohi sang pemburu hantu.


Dear Diary
Akhirnya anakku mengalah dan mau menonton Jason Bourne, kuduga pasti karena dia enggan bayar karcis sendiri. 
Aku bisa menebaknya.
“Kenapa sih mamam suka banget sama film Jason ini Vani perhatikan? Kadang sampai 2 kali nonton.”
Memang selama ini aku selalu menonton sekuel Jason Bourne sampai berkali2, ini sekuel film kelima.
“Gak tahu ya Van, mamam kayaknya kasihan terus lihat dia, sudah jelek wajahnya, nasibnya sial terus, yah mirip2 mamam nasibnya.”
“Mam ! Serius bisa gak sih? Vani kan mau tahu kenapa mamam suka banget nonton sekuelnya Jason Bourne? Jawab yang serius bisa gak sih?”
Suara si bungsu agak mencicit kalau sudah agak marah.
Terus aku mau bilang apa pada anakku?
Aku memang suka nonton sekuel Jason Bourne karena nasibnya yang selalu menderita tiada akhir.
Aku merasa senasib sepenangungan dengannya.
Apa itu alasan yang salah?
Film Matt Damon si pemeran Jason Bourne lainnya tak pernah kutonton, hanya film ini.
“Kenapa mam? Apa alasannya?” anakku masih menuntut jawab.
“Bintang filmnya kan gak ganteng, gak sexy, kok mamam suka banget? Kenapa sih? Serius jawab dong mam!” si bungsu makin ngotot sambil menggoyang2 tubuhku agar cepat2 menjawab.
Aku bingung mau jawab apa,sementara segelintir orang di bioskop mulai memperhatikan kami.
“ yah mamam suka Jason Bourne karena adegannya bagus, kebut2annya, berantemnya seperti betulan, gak seperti film Rhoma Irama, dipukul pipinya yang benjol jidatnya. Pukulannya belum sampai bunyinya sudah kedengeran duluan.”
“Ohhhh gitu. Jawab begitu aja pakai mikir lama2. Mamam...mamam...” ujar anakku puas sambil geleng2 kepalanya.
Begitulah derita seorang ibu.
Dosaku sore ini bertambah lagi, membohongi anakku hanya gara2 Jason Bourne.
Ya Tuhan, maafkan aku karena selalu berbohong.

Komentar

Postingan Populer